Apa yang Harus Saya Lakukan Saat Ayah / Ibunda Saya Hendak Menikah Lagi ?
Bersedih kita melakukan sesuatu tanpa didasari ilmu, apalagi jika bersangkutan dengan kedua orang tua.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى وَجَهْلِى وَإِسْرَافِى فِى أَمْرِى وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّى اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى جِدِّى وَهَزْلِى وَخَطَئِى وَعَمْدِى وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِى
“Allahummagh-firlii khothii-atii, wa jahlii, wa isrofii fii amrii, wa maa anta a’lamu bihi minni. Allahummagh-firlii jiddi wa hazlii, wa khotho-i wa ‘amdii, wa kullu dzalika ‘indii”
(Ya Allah, ampunilah kesalahanku, kejahilanku, sikapku yang melampaui batas dalam urusanku dan segala hal yang Engkau lebih mengetahui hal itu dari diriku. Ya Allah, ampunilah aku, kesalahan yang kuperbuat tatkala serius maupun saat bercanda dan ampunilah pula kesalahanku saat aku tidak sengaja maupn sengaja, ampunilah segala kesalahan yang kulakukan)[1]
------------------------------------------------------------------------------
Alhamdulillah washshalatu wassalam ‘ala Rasulillah.
Menikah adalah suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang laki-laki dan seorang wanita yang ingin berhubungan dengan cara halal. Termasuk di dalamnya adalah seorang wanita yang telah ditinggal wafat suaminya atau telah dicerai oleh suaminya, maka dia memiliki hak untuk menikah lagi. Kita tidak boleh mengingkari syariat ini dan kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang telah Allah haramkan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan kebaikan-kebaikan yang telah Allah halalkan untuk kalian dan janganlah kalian melampaui batas! Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-Maidah: 87)
Jika ibu/ ayah kita ingin menikah lagi, maka kita harus mengizinkannya untuk menikah, karena ini adalah hak beliau, sebagaimana hak ini dimiliki juga oleh wanita-wanita / lelaki yang lainnya.
Setiap wanita / pria memiliki psikologis yang berbeda-beda, ada wanita / pria yang tahan menjanda / menduda bertahun-tahun karena sangat sayang dengan suaminya / istrinya yang telah meninggal. Sebagian lagi ada yang tidak tahan untuk menjanda dan sangat membutuhkan suami / istri sebagai tempat penyalur kebutuhan biologis dengan cara yang halal. Sebagian lagi membutuhkan untuk menikah karena ingin mendapatkan teman hidup yang lain yang bisa meluruskan jika dia lalai. Sebagian lagi membutuhkan suami / istri untuk meringankan beban dia dalam mencari nafkah dan mengurus anak-anak. Jadi dengan banyak tipe wanita / lelaki , maka kita tidak boleh menyamakan wanita janda / duda yang satu dengan yang lainnya.
Jika sang anak tetap melarang, maka apakah berdosa?
Ya dan anak tersebut bisa terjatuh ke dalam larangan untuk berbuat durhaka kepada orang tua. Permintaan dan perintah ibu / bapak, selama hal tersebut tidak mengandung dosa maka harus dilakukan oleh sang anak. ِAllah subhanahu wa ta’ala menyuruh hal tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْن إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Isra’: 23)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
وَيَلْزَمُ الْإِنْسَانَ طَاعَةُ وَالِدِيهِ فِي غَيْرِ الْمَعْصِيَةِ وَإِنْ كَانَا فَاسِقَيْنِ، وَهُوَ ظَاهِرُ إطْلَاقِ أَحْمَدَ، وَهَذَا فِيمَا فِيهِ مَنْفَعَةٌ لَهُمَا وَلَا ضَرَرَ، فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ وَلَمْ يَضُرَّهُ وَجَبَ وَإِلَّا فَلَا
“Dan seorang manusia harus mentaati kedua orang tuanya pada hal-hal yang bukan maksiat, meskipun keduanya adalah orang yang fasiq. Inilah yang tampak dari perkataan muthlaq Ahmad. Dan ini adalah pada hal-hal yang bermanfaat untuk mereka berdua dan tidak ada kemudharatan (bahaya). Apabila dia mendapatkan kesusahan yang sangat untuk melaksanakannya dan ternyata tidak membahayakannya maka dia wajib melaksanakannya, jika sebaliknya (yaitu membahayakannya) maka tidak (wajib).”1
Apabila sang Ibu / bapak memerintahkan atau meminta kepada sang anak untuk mengizinkannya, maka harus diizinkan. Dan sebenarnya seorang Ibu/bapak tidak butuh untuk menunggu keridaan anaknya. Karena sang ibu/bapak lah yang berhak mengatur dan memerintahkan anaknya, dan bukanlah sang anak yang berhak mengatur ibunya.
Apalagi jika calon suami sang Ibu / bapak adalah seorang yang shalih / shalihah, maka tidak ada alasan bagi sang anak untuk menolaknya.
Apakah sang anak memiliki hak melarang?
Sang anak memiliki hak menasihati sang Ibu . bapak jika ternyata calon suami / istri yang dipilih oleh sang Ibu / bapak adalah pelaku maksiat dan dikenal dengan maksiat tersebut, seperti: meninggalkan shalat lima waktu, tidak puasa, berjudi dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya, maka pada saat itu sang ana bisa melarang dengan sopan sebelum terjadi pernikahan antara sang Ibu / bapak dengan orang tersebut. Karena apabila telah terjadi pernikahan maka sangat dikhawatirkan akan merusak agama sang Ibu/ bapak, karena perbuatan yang dilakukan oleh calon suaminya / istrinya tersebut.
Allahu a’lam. Billahittaufiq.
Komentar
Posting Komentar